Search This Blog

Wednesday 23 September 2015

Ketika Cinta Membelah | Cerpen

      Suami saya adalah seorang insinyur. Saya 
mencintai sifatnya yang alami, dan saya menyukai
 
perasaan hangat yang muncul ketika saya
 
bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun
 
dalam masa kenalan dan bercumbu, sampai
 
sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan,
 
harus saya akui, saya mulai merasa lelah dengan
 
semua itu.
 
Alasan saya mencintainya pada waktu dulu,
 
telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan.
 
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-
benar sensitif serta berperasaan halus. Saya
 
merindukan saat-saat romantis seperti seorang
 
anak kecil yang menginginkan permen. Dan
 
suami saya bertolak belakang dari saya, rasa
 
sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya 
 
untuk menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan
 
saya tentang cinta. 
 
*** 
 
Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan mahaberat saya
 
kepadanya. Saya menginginkan perceraian!
 
      "Mengapa?" Dia bertanya dengan terkejut. "Ada orang ketiga?!"
 
      Saya menggeleng. "Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang tak akan pernah kamu pahami,"
 
jawab saya.
 
      Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak ada putus-putusnya.
 
Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan
 
perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya?
 
      Dan akhirnya dia bertanya seolah dapat membaca alam pikiran saya. "Apa yang dapat saya
 
lakukan untuk mengubah pikiranmu?"
 
      Seorang bijak pernah berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit. Mungkin itu
 
benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan dan kesabaran diri bahwa saya bisa
 
mengubah pribadinya menjadi seorang yang romantis seperti obsesi saya selama ini. Dan tidak
 
ada cara lain untuk mengakhiri semuanya itu dengan perceraian!
 

      Di dalam kekecewaan dan putus asa, saya menatap dalam-dalam matanya dan melontarkan
 
tanya. "Saya punya pertanyaan untukmu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di
 
dalam hati saya, mungkin saya akan berubah pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai
 
setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung
 
itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"
 
      Dia berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."
 
      Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Dia seperti laki-laki yang tidak memiliki
 
hati. Dia meninggalkan saya sendiri, tepekur dengan pertanyaan-pertanyaan saya yang serupa
 
mistis. 
 
***        Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya melihat
 
selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah
 
gelas kristal kosong, yang bertuliskan:
 
      "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tapi
 
izinkan saya untuk menjelaskan alasannya." 
 
      Sebaris kalimat pertama tadi menghancurkan hati saya. Saya
 
mencoba untuk kuat melanjutkan membacanya kembali....
 
      "Suatu ketika, saat kamu mengetik di komputer dan tanpa
 
sengaja telah mengacaukan program di PC, dan akhirnya menangis
 
di depan monitor karena semua data kamu hilang, maka saat itu pula
 
saya akan datang membantu kamu. Saya akan berusaha semaksimal
 
mungkin untuk memperbaiki program komputer itu, dan
 
mendapatkan data kamu yang hilang tersebut."
 
      Saya menyimak dengan hati belah. 
 
      "Suatu ketika, saat kamu keluar dan lupa membawa kunci rumah, saat itu saya harus pulang
 
dari kantor untuk sekedar mendobrak pintu rumah dengan cara menendangnya, supaya kamu
 
bisa masuk dan tidak membiarkanmu menunggu saya pulang kantor berjam-jam di luar rumah."
 
      Kalimat ketiga tadi mulai menggugah saya dalam haru.
 
      "Suatu ketika, saat kamu jalan-jalan ke luar kota dan nyasar di tempat baru yang kamu
 
kunjungi itu, maka saat itu saya begitu panik dan nyaris gila mencarimu. Saat menemukanmu,
 
saya seperti menemukan sebuah permata yang tidak dapat saya gambarkan nilainya. Saya
 
memelukmu, dan rasa-rasanya tidak ingin melepaskan kamu saat itu."
 
      Sepasang pelupuk mata saya memanas.
 
      "Suatu ketika, saat kamu selalu pegal-pegal setiap 'kedatangan tamu' pada setiap bulannya,
 
maka saat itu pula atas inisiatif saya sendiri, saya akan memijat kakimu yang pegal meskipun
 
saya sudah mengantuk dan bahkan tertidur."
 
       Bibir saya bergetar.
 
      "Suatu ketika, saat kamu sedang diam dan sendirian di rumah karena kita belum dikaruniai
 
seorang anak, maka saya akan meriuhkan suasana 'keterasinganmu' dengan menjaring dan
merangkai cerita supaya kamu tidak kesepian. Saya akan membanyol supaya kamu ceria di
 
dalam senyum atau tawa lucu, meskipun saat itu saya masih lelah dan penat sehabis pulang kerja
 
dari kantor." 
 
      Tubuh saya mulai menggemetar.
 
      "Suatu ketika, saat kamu asyik dan lama menatap monitor komputer, maka saat itu saya akan
 
menegurmu untuk beristirahat, dan mengatakan kalau terlalu lama di depan layar monitor tidak
 
baik untuk kesehatan matamu. Dan sejak saat itu pula, saya berikrar untuk harus menjaga
 
kesehatan mata saya sehingga kelak kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan
 
kukumu dan mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati
 
sinar matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar
 
seperti wajah cantikmu...."
 
      Kerongkongan saya memerih.
 
      "Sayang, saya yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari cara saya mencintaimu.
 
Tapi saya tidak akan mengambil bunga di tebing gunung itu, seperti yang kamu inginkan, kalau
 
toh pada akhirnya bunga itu akan mati layu...."
 
      Airmata saya sudah menggumpal dan sedikit meruap di pinggir pelupuk mata.
 
      "Saya hanya ingin memberimu cinta, cinta yang tak akan pernah layu meski mungkin cinta itu tidak dapat kamu lihat sebagai sebuah keindahan. Keindahan seperti bunga. Keindahan
 
seperti harum melati dan mawar. Tapi demikianlah saya yang apa adanya. Yang hanya memiliki
 
niat sederhana untuk membahagiakan kamu dengan cara saya, cara yang mungkin bagi kamu
 
tidak romantis. Ya, tidak romantis dan begitu menjenuhkan. Tapi saya yakin cinta saya ini akan
 
abadi, dan tidak akan layu seperti keindahan bunga yang sekejap layu lalu mati."
 
      Airmata saya sudah menetes dan jatuh ke atas kertas tulisannya. Saya berusaha untuk
menahan tangis, namun tidak bisa. Buncah sesal seperti menohok hati saya telak-telak. Saya
 
memang tak pandai mengartikan cinta yang sejati. Cinta tulus yang telah diberikan suami saya
 
dengan caranya sendiri.
 
      "Sayang, sekarang setelah selesai membaca jawaban saya, kamu berhak memilih dan
 
menentukan jalan hidup kamu. Tak ada paksaan. Namun jika kamu dapat menerima cinta cara
 
saya yang apa adanya, seperti yang telah saya persembahkan kepada kamu selama ini, tolong
 
bukalah pintu rumah kita. Sekarang, saya sedang berdiri di sana dengan susu segar dan roti
 
kesukaanmu...."
 
      Saya segera membuka pintu, dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya cintai. Matanya
 
tampak merah dan berkaca-kaca, berdiri dengan sikap tegar sembari memegang nampan berisi
 
segelas susu segar dan beberapa roti iris dalam piring.
 
      Saya tidak kuat lagi, memeluknya dan merebahkan kepala saya di bahunya yang bidang
 
sambil menangis.

Sumber : www.google.com


No comments:

Post a Comment